Page 1 - MASJID SURIANSYAH
P. 1
Masjid sultan suriansyah
BanjarMasin
asjid Sultan Suriansyah yang berlokasi di Kampung Kuin Utara, Banjarmasin ini
masuk dalam kategori situs purbakala dengan terbitnya Perda No 21 Tahun 2009.
MMasjid bersejarah yang juga merupakan masjid tertua di Banjarmasin ini dibangun
pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550) -tepatnya dimulai pada 24
September 1526 M.-, Raja Banjar pertama yang sebelumnya beragama Hindu, dan bernama
asli Raden Samudra. Dengan berdirinya masjid ini, berkembang pula peradaban Islam di
daerah setempat, dengan bantuan ulama besar dari Demak yang dikenal dengan nama
Khat b Dayyan (orang yang menyampaikan khutbah dan menjadi da’i).
Unsur-unsur masjid yang merupakan t nggalan awal di antaranya adalah empat soko
guru yang pada mulanya terbuat dari kayu halayung, dan kemudian dilapisi dengan kayu
ulin. Adapun bedug, mimbar, dan dua Lawang Agung diperkirakan dibuat pada masa
pemerintahan Sultan Tamjidillah (cucu dari Sultan Suriansyah), pada tahun 1734-1759 M.,
berselang dua abad dari awal pembangunan masjid. Bukt yang menunjuk pada hal tersebut
adalah inskripsi Arab-Melayu pada mimbar dan dua Lawang Angung.
Pada lengkungan bagian atas hingga sisi kiri dan kanan mimbar tertulis:
موي ، يراجنبلا يلع دمحم جاحلا شقن .ميظعلا ل ا ناحبس هدمحبو ل ا ناحبس ل ا لوسر دمحم ل ا ل ا هلا ل
ّ
ةرجه 1296 ل نس بجر رهش ءايل ثلا.
Adapun pada kedua Lawang Agung, masing-masing tertulis:
رجنبركن ملاع نءاجرك ل ا ديجمت ناطلس نامز ادف واو نوهات 1159 ةنس ملسو هيلع ل ا ىلص يبنلا ةرجه دعب
ايلوم غاي نل اغنيت هانت مل اد مل سلا راد.
ادف نينثا يراه ادف مل سلا راد رجنب يركن يد دجسم جنوغا غناول فقو ناكيريدنم اراكغوتسا غاماد يهايك
وتيا نل اكنت نابعش نل وب يراه هولوفس
Arsitektur Masjid yang berada di tepi Sungai Kuin ini merupakan bangunan lokal, khas
Banjar, dengan pola panggung dan beratap tumpang, namun pola tata ruang mengikut pola
ruang Masjid Agung Demak yang merupakan akulturasi budaya Jawa-Hindu. Unsur Jawa
Hindu ini bisa terlihat jelas pada bentuk atap meru, ruang keramat/cella/mihrab, dan empat
soko guru. Di bagian atas atap masjid terdapat hiasan atau mustaka yang berbentuk hiasan
sungkul dan jamang.
Masjid yang saat ini berukutan 26 m x 22 m. ini adalah hasil renovasi ket ga (terakhir). Soko
guru yang sedianya berjumlah empat t ang, saat ini sudah dikelilingi dengan t ang-t ang kecil
sebanyak 12 t ang. Dua lawang Agung atau pintu utama (sekarang menjadi pintu sebelah
kanan dan kiri mihrab) hasil renovasi pertama telah diperbanyak menjadi 17 pintu, sebagai
perlambang jumlah rakaat salat dalam sehari semalam yang disyariatkan Islam. Pada renovasi
terakhir, masjid diperluas dengan dibangunnya serambi kanan dan kiri, masing-masing
selebar 2 meter dengan lantai kayu ulin berwarna hijau dan kuning, dua warna dominan yang
menjadi warna khas kerajaan Melayu Banjar, juga aula di bagian belakang masjid.
Masjid yang bernuansa Banjar ini penuh dengan hiasan f oral dan juga kaligraf Arab.
Dinding yang keseluruhannya terbuat dari kayu, pada bagian belakang atau samping kanan
dan kiri mihrab dihiasi kaligraf Arab yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, sedang pada
bagian atas dinding dengan kaligraf bertuliskan Asmaul Husna. Adapun soko guru saat
ini dilapisi dengan kayu ulin yang diukir dengan mot f f oral yang didominasi mot f bunga
sebagai perlambang keindahan, dan mot f sulur (tali tambang) yang melambangkan ikatan
persaudaraan.
Selain nilai sejarahnya yang t nggi, Masjid Sultan Suriansyah oleh masyarakat setempat
dianggap memiliki keramat dan membawa keberkahan. Fenomena keramat dan berkah
hingga kini masih dipercayai masyarakat. Hal ini dibukt kan dengan masih banyaknya ritual
menaruh rangkaian kembang/bunga pada lengkungan mimbar dan juga air di sisi kanan
dan kiri mimbar. Masyarakat meyakini, bahwa pendiri masjid adalah orang saleh dan
pilihan yang keberkahannya akan terpercik pada siapa saja yang berdoa dengan berwasilah
kepada para pendiri masjid, terutama ket ka masyarakat memiliki hajat tertentu. Dengan
ritual “ngalap berkah” tersebut, hajat mereka terkabul dan berjalan dengan lancar, serta
mendapat kemudahan. Ritual menaruh rangkaian kembang dan air ini lebih banyak dilakukan
masyarakat setempat pada hari jumat menjelang dilakukannya khutbah dan salat jumat.
Usai salat jumat, rangkaian kembang dan air tersebut akan diambil kembali, untuk kemudian
diletakkan di tempat yang akan digunakan untuk melaksanakan hajatan, atau diminum oleh
orang dan keluarga yang sedang memiliki hajat. []

